MENJADI MANUSIA UNGGUL
Oleh: Dr. M. Zamroni, S.H., M.Hum. (Akun Scholar, Akun Sinta)
Dekan Fakultas Hukum Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo.
PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan semua manusia tidak mungkin tanpa tujuan. Ada banyak takdir yang dicatat Papan Langit (Lauhul Mahfudz) tentang kepastian tiap manusia, setidaknya 3 hal pokok dalam catatan tersebut, yakni Kelahiran, Jodoh dan Kematian, sebagaimana yang sering disampaikan para ahli agama. Ketika ketentuan itu harus ada, maka proses terjadi melalui kompetisi untuk menjadi yang paling unggul untuk bisa survive dalam mengarungi hidup. Dari 300 juta sel sperma yang memasuki vagina, hanya ratusan sel sperma yang akan mencapai tuba falopi (lokasi sel telur berada). Dari ratusan sperma tersebut, hanya ada satu sperma yang bertemu dengan sel telur, lalu proses pembuahan itu terjadi untuk menjadi Zigot yang akan berkembang menjadi Embrio (bakal janin).Embrioitu adalah yang paling unggul diantara ratusan yang unggul.
Berkompetesi untuk menjadi unggul di antara ratusan yang unggul merupakan Sunnatulloh, hukum alam yang dipastikan.
Permasalahan yang menarik untuk diajukan adalah bagaimana menjadi yang unggul ketika manusia itu dilahirkan?.
Tulisan ini diajukan dengan metode kualitatif, deskriptif, dengan pendekatan filosofis. Walaupun prosesnya melalui dialektita tesa, sintesa dan antitesa. Namun,secara keseluruhan penulis mengajukannya sebagai tesa untuk mendapatkan tanggapan-tanggapan sebagai sintesa, yang akhirnya ada titik konsensus sintesa, yang tetap membuka diri untuk menerima kembali antitesa-antitesa berikutnya.
PEMBAHASAN
Membuka judul tulisan dengan kata “menjadi” merefleksikan, bahwa kita hidup ini selalu berada pada dataran “proses” tanpa akhir, membiarkan sejarah tentang diri yang akan menceritakan dirinya sendiri, sampai akhir hayat mengambil nyawa kita. Sehingga mendefinisikan diri bahwa kita telah berhasil mencapai tujuan merupakan kematian sebelum kematian yang sebenarnya.
Konsep “Manusia Unggul” sebenarnya bukan konsep yang orisinil karena konsep ini pernah dideklarasikan oleh Friedrich Nietzsche, dengan istilah Jerman: “Ubermensch”, yang disabdakan oleh Nabi Zarathustra, tokoh nabi dalam tulisan Nietzsche dengan kitab sucinya Avesta, bahwa Manusia Unggul merupakan manusia yang memiliki segala sifat, perilaku maupun tabiat yang harus ada padanya, sebagai manusia yang harus dilampaui, yang mengatasi dirinya dan berkedudukan sebagai manusia unggul.
Nilai filosofis “Manusia Unggul” adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia, sehingga tidak lagi percaya akan bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia, dan pemberian makna hanya akan dicapai melalui Ubermench.
Titian menuju “Manusia Unggul” sangat revolusioner, yakni dengan memaklumatkan deklarasi kedua, yakni bahwa Tuhan Telah Mati (Gott ist Tot). Dengan cara menjadi Manusia Unggul yang ateistis ini bagian dari tahap-tahap perjalanan manusia yang membebaskan dirinya dari nilai-nilai yang membelenggu, hidup bermoral tuan, yang tidak ada tuan di atas dirinya, berasas pada kemauan untuk berkuasa (Will to Power), bersikap berani, dan itu menandai menusia unggul yang ateistis. “Kemauan untuk Berkuasa” merupakan deklarasi ketiga ajaran paling populer dari Filsafat Friedrich Nietzsche.
Menuju manusia unggul ini dapat dilengkapi dengan pesan bijak dari Filosuf Confusius, bahwa “orang yang kuat bukanlah orang yang bisa mengalahkan banyak orang. Orang terkuat adalah yang bisa mengalahkan dan menguasai dirinya sendiri”.
Sebagai masyarakat yang hidup di negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, tentu filsafat Friedrich Nietzsche tidak dapat diterima secara utuh, bukan hanya karena adanya berkewajiban untuk beragama atau menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun teks ajaran filsafat akan sulit diterapkan bila tidak sesuai dengan konteks Indonesia.
Ada beberapa nilai-nilai penting dari ajaran filsafat Friedrich Nietzsche ini, yakni:
- Nilai Optimistik;
- Nilai Konpetitif;
- Nilai Pantang Menyerah;
- Nilai Orientasi pada Tujuan.
Dalam konsep agama Islam, menawarkan beberapa konsep utama yang dapat diajukan sebagai antitesa, yakni:
- Bahwa Manusia adalah Makhluk yang diciptakan paling sempurna (Laqod Kholaqnal Insaana Fii Ahsani Taqwiim, QS. At-Tin, Ayat 4);
- Bahwa Manusia diwajibkan untuk selalu berkompetisi menuju kebaikan (Fastabiqul Khoiroot, QSal-Baqarah, Ayat 148);
- Bahwa Manusia dilarang berputus asa dari rahmat Allah (Wa Laa Yai’asu Min Rouhillaahi Illal Qoumil Kaafiruun, QS. Yusuf, Ayat 87);
- Bahwa orientasi manusia adalah menjadi sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi orang lain (..Wa Khoirunnaas Anfa’uhum Linnas, H.R. Thabrani dan Daruquthni)
- Bahwa Puncak orientasi manusia adalah penghambaan kepada Tuhan (Wa Maa Kholaqtul Jinna wal Insa Illa Liya’buduun, QS ad-Dzariyat, Ayat 56)
Orientasi kemenangan dalam hidup harus direncanakan, karena perencanaan adalah separuh kemenangan. Tiadanya perencanaan bukan hanya suatu tindakan yang tidak bijak, namun lebih dari itu, yakni bahwa manusia itu telah menjadikan dirinya melewati hidup tanpa perencanaan sejak dini sampai akhir hayat. Memutuskan untuk mengarungi hidup yang mungkin sangat panjang dengan hanya berbekal sebuah disorientasi. Titipan dari Tuhan berupa akal tidak diberdayakan untuk merencanakan perjalanan untuk memenangkan hidup.
Motivasi tentang cita-cita sudah ditanamkan oleh para guru sejak dini, agar manusia mendeskripsikan ratusan bahkan mungkin ribuan cita-cita dan impian yang akan diwujudkan dalam hidupnya.
Proses membekali diri untuk mewujudkan harapan dan cita-cita itu yang paling melelahkan, disini manusia dituntut untuk pantang berputus asa menghadapi persaingan hidup yang tidak semakin mudah.
Harapan untuk menjadi manusia unggul di bidangnya masing-masing harus dilakukkan dengan sepenuh hati dan pikiran, serta pengerahan energi yang maksimal. Nilai-nilai agama yang tumbuh dan tertanam dalam pikiran manusia tidak harus menjadi penghalang untuk mewujudkan cita-cita menjadi manusia unggul di bidangnya masing-masing, apalagi sampai harus menafikan eksistensi keberadaan Tuhan, karena Tuhan bukanlah penghalang, namun motivator utama cita-cita manusia.
Orientasi mewujudkan diri menjadi manusia unggul di bidangnya masing-masing sebaiknya diniatkan secara paripurna, yakni menjadi sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi orang lain, karena secara ekosistem antara satu manusia dengan manusia lain (dan segala makhluk lainnya) adalah satu kesatuan ekosistem yang saling membutuhkan dan memiliki ketergantungan. Sehingga menempatkan diri menjadi makhluk yang memiliki manfaat tidak hanya melestarikan keberlangsungan ekosistem, namun menjadikannya lebih baik dan indah.
Adapun puncak dari orientasi manusia adalah sikap penghambaan kepada Tuhan (Lillaahi Ta’aala),karena Tuhanlah harapan pujian dan balasan yang paling sempurna. Harapan penghargaan dari manusia tidak mungkin sempurna, karena hinaan dan celaan akan selalu datang dari sang pembenci, walaupun prestasi yang kita persembahkan. Demikian pula sebaliknya, pujian dan pembelaan yang akan diterima dari sang pencinta, walaupun tidak ada prestasi yang membanggakan sama sekali yang dapat kita persembahkan. Tuhan adalah puncak dari segala orientasi, bukan keberhasilan materi di dunia atau Surga di akhirat, namun Dzat Tuhan itu sendiri yang menjadi cita-cita tertinggi dari segala cita-cita.
PENUTUP
Sejak dilahirkan pada dasarnya tiap manusia adalah makhluk paling unggul dalam proses kompetisi untuk menjadi Zigot. Bibit unggul ini bukan lagi untuk diperjuangkan, namun takdir yang telah terberikan.
Adapun untuk mendapatkan prestasi Manusia Unggul di titik akhir hidup, perlu dilalui dengan perencanaan dan perjuangan untuk mewujudkannya, tanpa mengenal putus asa.
Orientasinya adalah untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya, yakni yang bermanfaat bagi orang lain.
Adapun Puncak dari segala orientasi adalah Dzat Tuhan itu sendiri.
Daftar Pustaka:
- Al-Qur’aanul Kariim;
- Al-Hadits;
- Budiwiarto, A, “Ajaran Friedrich Wilhelm Nietzche Mengenai Manusia”, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1983.
- Magnis, Frans, “Etika Umum, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral”, Yogyakarta, Kanisius, 1976;
- Nanuru, Ricardo F, “UBERMENSCH, Konsep Manusia Super Menurut Nietzsche”, Tugas Filsafat Manusia, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 2020.