Oleh:
Prof. Dr. H. Gempur Santoso, M.Kes.
(Guru Besar Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo)
Dalam teori pendidikan pendekatan konstruktivistik bahwa guru menghendaki murid harus bisa seperti gurunya, itu tidak mungkin. Jelas berbeda. Lahirnya saja berbeda. Usia berbeda. Jelas yang lebih tua, memiliki pengetahuan dan pengalaman hidup lebih banyak .
Bahkan, setiap orang “isi pikirannya” pastilah berbeda. Tidak bisa disamakan. Itu pertanda bahwa perbedaan adalah hakiki.
Guru mengajarkan pada anak kecil. Misal anak usia taman kanak-kanak. Agar pedidikan bisa diterima anak. Guru harus masuk pada dunia anak. Bukan anak anak masuk dalam dunia dewasa – gurunya.
Secara umum, bahwa strategi mendidik agar berhasil. Maka, pendidik harus masuk pada dunia yang dididik (murid).
Siang itu. Saya bersama teman saya seorang dosen. Bercerita pengalaman dan ilmunya saat kuliah di Pascasarjana (S-2), dulu. Di bercerita, atas ilmu pengetahuannya saat kuliahnya dulu.
Dia juga berceritera. Dalam menghadapi mahasiswa bimbingannya (calon sarjana). Berkehendak agar mahasiswanya meniru dosen saat meneliti dulu.
Ternyata mahasiswa bimbingannya mengalami kesulitan. Sangat mungkin mahasiswa calon sarjana itu merasa terlalu tinggi melakukan. Kekurangan bekal metode dan ilmu.
Kok begitu? Jelas berbeda calon sarjana atau sarjana dengan calon mahasiswa pascasarjana atau lulusan pascasarjana.
Sistematika pendidikan. Setelah sarjana (S-1) adalah setelah sarjana (pascasarjana). Pascasarjana ada yang tingkat S-2 ada yang tingkat S-3. Itu model pendidikan akademik formal. Beda jenjang, pasti beda capaian pola pilkir yang akan diraih.
Bisa masuk pascasarjana haruslah telah lulus sarjana.
Apa bisa tidak memiliki titel/ijasah sarjana. Tetapi, pola pikirannya sama seperti sarjana. Menurut saya boleh saja, bagus, hanya saja tak berhak menyandang titel. Juga, tak berhak menyandang ijasah.
Memiliki/mampu ilmu, tidak mesti harus punya ijasah/titel.
Bahkan, ada pula yang memiliki titel dan ijasah sarjana. Tetapi, pikirannya bukan sarjana. Tidak ilmiah. Alias tidak/kurang berilmu.
Itu bisa disebut sajana ijasah dan titelnya syah, tetapi pola pikirnya abal-abal. Bisa berpola pikir sistematik imiah memang harus belajar.
Pola pikir sarjana itu yang bagaimana? Kita tahu bila sudah sarjana bisa desebut ilmuwan. Tentu ilmuwan adalah orang yang memiliki ilmu, punya ilmu, bisa membuat ilmu kebenaran empiris.
Kampus disebut tempat pendidikan menggunakan pendekatan ilmiah. Jelas ilmiah itu mampu mendapatkan ilmu. Metode yang dipakai adalah “metodologi” (metodo= metode= cara; logi= Logos= ilmu).
Ilmuwan pastilah mengerti “metodologi”. Berpicara ilmu pasti diawali dengan masalah kemudian dirumuskan masalah itu. Masalah adalah kesenjangan harapan (teori, norma, dan yang seharusnya) dengan kenyataan/fakta yang terjadi.
Kemampuan sarjana harus bisa setematik dalam berfikir ilmiah/ilmu/. Perfikir metodologis.
Kalau Pascasarjana (S-2) pun demikian harus berfikir metodologis. Datambah mampu mengendalikan atau mengontrol variabel bergaruh lainnya atas variabel utama. Veriabel adalah obyek penelitian. Tentu harus ada temuan kebaruan (novalty) yang ditemukan.
Pascasarjana pada tingkat S-3. Lain hal dengan kamampuan yang harus dimiliki masih S-2. Barangkali Pascasarjana S-3 dibicarakan lain waktu.
Akan mendapatkan ilmu haruslah jujur. Maka ilmuwan pastilah harus jujur. Hidup boleh salah, tapi jujur harus. Kalau tidak jujur, tidak akan mendapatkan ilmu pada kebenaran empiris. Aplikasi di masyarakat harus bener dan pener (tepat sasaran).
Semoga kita selalu sehat….aamiin yra.
(GeSa)