SENTUHAN UNTUK JIWA
(MADAH KEAGUNGAN & KELUHURAN)
Oleh : Mukti Ali, S.Sos., M.PSDM. (Akun Scholar, Akun Sinta)
Dosen Program Studi Manajemen Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo
Di antara latar belakang lahirnya kemuliaan yang sanggup membangkitkan kebesaran jiwa yang pada akhirnya akan sanggup menumbuhkan bangsa yang besar dan sanggup menciptakan peradaban bangsa yang agung dan tinggi ialah keberadaan jiwa yang luhur/agung (dlm bhs. Agama = hatinya hati), karena inilah yang menjadi titik lemah kebangkitan Bangsa sekarang dan justru jiwa semacam inilah yang mewarnai periode-periode awal sejarah negeri kita saat bernama “Nusantara” yang sanggup dan pernah mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar, agung dan Inggil. (Medang Kamulan, Sri Wijaya yang pernah menjadi Nusantara I; Majapahit yang pernah menjadi Nusantara II; Candi Borobudur sebagai karya peradaban bangsa yang agung).
Dari jiwaitulah akan lahir “bhakti” dan “Bela” (pengabdian tanpa pamrih) kepada sesama saudara sebangsa dan setanah air.
Wejangan jawa mengatakan lebih dalam tentang hal ini :
Yen satriya tanah jawi kuna-kuna kang ginilut tri prakara :
- Lila lamun kelangan nora gegetun, nrima yen ketaman
- Sak serik sameng dumadi
- Legawa, nalangsa srah ing Bathara ( Pangeran).
Itulah Jiwa yang Luhur, yang tidak mau melihat kedudukan tinggi dan tidak pula mengharapkannya. (urip iku mung sadermo hanglakoni titahing Gusti mula dadiya manungsa sing luhur lan tansah ngluhurake uripe.Ojo dumeh. Ojo adigang, Ojo adigung, Ojo adiguna. Ojo kagetan, Ojo gumunan, Ojo aleman).
Itulah Jiwa yang Luhur, yang tidak peduli dimana dia berada di jalan “pangemongan” tidak peduli di depan atau dibelakang, selagi dia tetap teguh di jalan “pangemongan” kepada sesama manusia sebagai manifestasi keluhuran jiwanya (akhlaqul karimahnya) dengan niat menegakkan moralitas membangun kemuliaan dan keluhuran.
Ing ngarsa sung tuladha,
Ing madya mangun karsa,
Tut wuri handayani.
Itulah Jiwa yang Luhur, yang tidak mau berpangku tangan, yang tidak merasakan kebosanan, yang tidak gundah, yang menyibukkan diri dalam aktivitas “pangemongan”.
Kasih, suka cita, damai sejahtera
Kemurahan, kelemah lembutan
Kebaikan dan kebenaran
Kejujuran dan kesetiaan
Kepercayaan pada diri sendiri
Itulah Jiwa yang Luhur, yang tidak mengenal waktu terbatas untuk melakukan “pangemongan”, yang tidak mengenal batas akhir untuk melakukan “pangemongan”, tapi dia menjadikan setiap segi hidupnya untuk selalu “ngemong” terhadap sesama.
Marma ing sabisa-bisa
Babasane muriha tyas basuki
Puruita-a kang patut
Lan traping angganira
Ana uga angger ugering kaprabun
Abon-aboning panembah
Kang kambah ing siyang ratri
Oleh karena itu, sedapat mungkin jagalah kebersihan hatimu agar selamat. Ikutilah anjuran para bijak dan mengabdilah (“ngawula”) sebatas kemampuanmu dan sesuai dengan kepribadianmu. Selain itu, indahkan hukum alam yang tertinggi (Hukum Tuhan) sebagai pedoman dalam berbhakti/mengabdi dalam kehidupan sehari-hari.
Itulah Jiwa yang Luhur, yang tidak berbuat demi orang ini dan orang itu, tidak untuk kelompok dan tidak pula untuk mendapatkan suatu kesenangan dunia, tapi dia berbuat demi kemuliaan kerajaan-Nya.
Taman limut, durgameng tyas kang weh limput
Kerem ing karamat
Karana karoban ing sih
Sihing suksma ngrebda sahardi gengira.
Senantiasa sadar, sehingga hawa nafsu tidak dapat menggodanya lagi. Suka pada hal-hal yang bersifat suci, agar supaya menerima hidayah dan kasih. Kasih dari Tuhansebagai anugerah yang paling besar.
Sepi ing pamrih rame ing gawe.
Senantiasa mendahulukan selesainya dan sempurnanya pekerjaan yang diembannya daripada mengharapkan imbalan dari pekerjaan tersebut.
Harapannya hanya satu, bahwa apa yang ditanamnya bisa tumbuh dengan baik, berkembang, dan berbuah. Tidak peduli apakah hasilnya akan bermanfaat bagi dirinya atau tidak, yang terpenting ia bisa tumbuh dan bermanfaat bagi dunianya.
Itulah Jiwa yang Luhur, yang maju ketika orang lain mundur, yang teguh ketika orang-orang tergelincir, yang sabar ketika orang-orang terguncang, yang lemah-lembut ketika orang-orang bertindak bodoh, yang memberi maaf ketika orang-orang merampas haknya.
Beda lamun, kang wus sengsem reh asamun
Semune ngaksama
Sasamane bangsa sisip
Sarwa sareh saking mardi martotama.
Lain halnya dengan mereka yang sadar yang suka akan kedamaian. Selain suka saling memaafkan sesama makhluk, mereka penuh dengan kesabaran dan kasih, dan berupaya untuk berperilaku baik setiap saat.
Itulah Jiwa yang Luhur, yang di dalamnya tidak ada tempat sekecil jarum pun untuk ditempati kedengkian terhadap sesamanya terlebih terhadap saudaranya sendiri.
Mangkana ngelmu kang nyata
Sanyatane mung weh reseping ati
Bungah ingaran cubluk
Sukeng tyas yen den ina.
Demikian perilaku seseorang yang sadar, yang telah memahami hakekat ilmu yang sesungguhnya.(ngelmu kang nyata = perilaku sehari-hari). Sesungguhnya Ia sudah merasa puas apabila bisa memberikan kebaikan hatinya dan bisa membuat orang lain bahagia. Diri sendiri bahagia disebutnya bodhoh,sebelum ia sanggup membahagiakan sesamanya.Namun tetap tidak sakit hati/marahbila mendapat hinaan (dipaido).
Ora tega larane, ora tega patine
Bukan: tega larane, ora tega patine / tega larane, tega patine.
Itulah Jiwa yang Luhur,yang tidak mengenal kepentingan untuk diri sendiri, tapi mendahulukan kepentingan orang lain.(Kepentingan negaradiatas kepentingan pribadi dan atau golongan) *)ciri kepentingan negara adalah ”jiwa”
Itulah Jiwa yang Luhur,yang sulit tidur karena merasa kasihan terhadap keadaan yang menimpa sesamanya.
Jiwa yang Luhur:
Salah satunya mampu menumbuhkan kebesaran hati dan mempersiapkannya untuk mengemban amanat (bhakti). Tentu saja jiwa semacam ini akan menjadikan diri tegak, kuat dan teguh, yang siap mengorbankan segala sesuatu, yang siap mengemban tugas apapun didunia ini, yang tidak melihat kecuali kepada kerajaan-Nya, yang tidak mengharapkan kecuali keridhaan-Nya. Itulah jiwa yang siap menelusuri perjalanan di dunia dengan segala ragamnya, berupa kegaduhan, penderitaan, siksaan dan pengorbanan, termasuk pula siap untuk mati, tanpa mengharapkan balasan di dunia, meskipun balasan itu berupa pertolongan bagi kemenangannya, meskipun balasan itu berupa kebinasaan bagi musuh-musuhnya.
Diraihnya : kejayaan, kemuliaan dan keluhuran demi kebesaran bangsanya, demi terciptanya peradaban bangsa yang agungdan inggil.
Sifat-sifat-Nya adalah dirinya.
Kerajaan-Nya adalah Negerinya.
Domba-dombanya adalah Suku Bangsanya.
Musuh-musuhnya adalah keangkara murkaan.
Saudara-saudaranya yang utama adalah
Sebangsa dan Setanah Air.
Sahabat-Sahabatnya adalah orang-orang yang berbudi
di penjuru bumi.
Cita-citanya adalah mempersatukan dunia
dibawah panji-panji Kerajaan-Nya demi
kejayaan-kemuliaan-keluhuran Bangsanya
dan demi kemakmuran bumi dan semesta alamnya.
Pada akhirnya Jiwa yang Luhur, ini mendapatkan dan menyadari bahwa tidak ada pilihan dalam perjalanan berikunya selain dari memberi tanpa harus menerima, apa pun yang diterima, dicurahkannya seluruh hidupnya demi bhakti dan bela dengan segenap jiwa raganya.
Maka ketika Jiwa yang Luhur semacam ini mendapatkan dan mengetahui-Nya, maka niatnya pun menjadi lurus, sesuai dengan sumpahdan janjinya. Pertolongan tentu menghampirinya di dunia dan merasakan keamanan, bukan untuk kepentingan dirinya, tapi untuk melaksanakan titah-Nya. Jiwa yang Luhur, semacam inilah yang layak untuk mengemban amanat semenjak ia diciptakan, bukan untuk mendapatkan kesenangan di duniasemata. Ia benar-benar memurnikan jiwanya, demi satu hari yang tidak dikenal satu balasan pun kecuali keridhaan-Nya.
Manungsa : manunggaling rasa. (raga, rasa, lan sukma)
Ajining sarira ana ing busana
Ajining diri ana ing lathi
Agama: agemaning aji.
Aja kagetan, aja gumunan, aja aleman
Aja dumeh, aja adigang, adigung, aduguna
Bagus ing Budi, mangertiya marang bibit kawit, ben duwe bibit, bebet, bobot kang bicik.
Becik ketitik ala ketara
Wening, wenang, weruh sangkan paraning dumadi.